Reporter : Redaksi
– Di usia yang telah menginjak 80 tahun, Mbah Darto menjalani hari-harinya seorang diri dengan kondisi hidup yang serba terbatas. Tanpa keluarga yang mendampingi, ia bertahan hidup hanya dengan mengandalkan hasil dari berjualan pakaian bekas di kawasan Pasar Ngasem, Kabupaten Bojonegoro.
Sejak pandemi Covid-19, Mbah Darto mulai membuka lapak sederhana dengan menjajakan pakaian. Setiap hari, ia harus menempuh perjalanan sejauh kurang lebih 15 kilometer menggunakan sepeda tuanya. Karena tidak memiliki lapak tetap, Mbah Darto kerap menumpang di lapak pedagang lain. Tak jarang pula, ia berjualan di perempatan jalan karena tak mampu menyewa tempat.
Memiliki lapak sendiri menjadi impian terbesar Mbah Darto. Dengan suara lirih, ia mengungkapkan harapannya agar suatu hari bisa berjualan tanpa harus berkeliling jauh.
“Kalau punya lapak sendiri enak, Nak. Mbah tidak perlu mengayuh sepeda jauh-jauh karena mbah sudah tua. Doakan mbah ya, semoga nanti punya lapak sendiri buat jualan,” tuturnya.
Dagangan Mbah Darto sering kali tak laku. Beberapa pakaian yang dijajakan bahkan tampak berdebu karena lama tak terjual. Ia hanya mengandalkan penjualan baju tersebut untuk memenuhi kebutuhan makan dan biaya hidup sehari-hari. Saat beberapa hari berlalu tanpa satu pun pembeli, Mbah Darto terpaksa menghemat beras yang tersisa di rumahnya.
Meski pakaian yang dijualnya jauh dari kata baru atau mewah, Mbah Darto tetap bersyukur karena masih bisa memperoleh penghasilan dengan cara yang halal.
“Lebih baik jualan, Nak, daripada harus meminta-minta,” ucapnya.
Sepeda tua yang menjadi satu-satunya alat transportasi Mbah Darto pun kerap mengalami kerusakan. Ketika sepeda tak bisa digunakan, ia terpaksa berhenti berjualan dan kehilangan satu-satunya sumber penghasilan.
Di tengah keterbatasan hidup, Mbah Darto tak pernah lupa berdoa dan bersedekah semampunya. Ia berharap diberi kesehatan agar tetap mampu bekerja. Namun, kondisi kesehatannya juga menjadi kekhawatiran tersendiri. Di lehernya terdapat benjolan yang cukup besar, tetapi keterbatasan biaya membuatnya belum pernah memeriksakan diri ke dokter.
“Kalau capek rasanya cenut-cenut, Nak. Belum pernah saya bawa ke dokter, jadi belum tahu sakit apa,” ungkapnya. (Tim Redaksi Bojonegoro)





