Reporter : RPMS
– Hari Santri Nasional 2025 menjadi momentum penting bagi dunia pesantren untuk meneguhkan kembali jati diri santri sebagai penjaga ilmu, adab, dan kemerdekaan berpikir yang berakar pada nilai-nilai Islam.
Guru SMP Ma’arif Genteng sekaligus pengajar Madrasah Diniyah Bustanul Makmur II Banyuwangi, Harisuddin, S.Pd, Gr, menyampaikan refleksi mendalam tentang peran santri di tengah dinamika zaman, termasuk isu tuduhan feodalisme dalam sistem pendidikan pesantren.
“Santri bukan hanya penuntut ilmu, tapi juga penuntut adab. Ilmu tanpa adab akan kering, dan adab tanpa ilmu akan tersesat,” ujar Harisuddin dalam tulisannya bertajuk Santri Menjaga Adab, Marwah Agama, dan Amanah Media di Tengah Tuduhan Feodalisme, Rabu (22/10/2025).
Menurutnya, sistem pesantren sejatinya dibangun atas tiga pilar utama: mudzakarah (belajar dan bermusyawarah), khidmah (pelayanan dan pengabdian), serta ridha guru sebagai sumber keberkahan ilmu. Ia menegaskan bahwa penghormatan santri kepada kiai bukan bentuk feodalisme, melainkan tata krama keilmuan agar ilmu membawa manfaat.
“Ketaatan santri kepada kiai bukanlah perbudakan sosial, tapi latihan spiritual agar tunduk pada nilai, bukan pada manusia,” jelasnya.
Pesantren, Sistem Egaliter Spiritual
Harisuddin menegaskan bahwa pesantren merupakan sistem egaliter secara spiritual. Di hadapan ilmu, semua santri setara — yang membedakan hanyalah ketekunan dan adab mereka dalam menuntut ilmu.
Bahkan, lanjutnya, seorang kiai bukan raja, melainkan khadim al-‘ilm — pelayan ilmu yang membimbing umat dengan kasih sayang. Karena itu, tudingan bahwa pesantren menumbuhkan feodalisme adalah bentuk ketidaktahuan terhadap ruh pendidikan Islam yang sebenarnya.
Santri dan Amanah Media
Menyoroti peristiwa yang sempat menimpa Pesantren Lirboyo akibat tayangan salah satu stasiun televisi nasional, Harisuddin menilai reaksi publik pesantren bukanlah bentuk anti kritik, tetapi wujud kepedulian terhadap kehormatan lembaga dan nilai keislaman.
“Santri tidak marah karena emosi. Santri menegur dengan cinta. Santri menuntut klarifikasi bukan untuk balas dendam, tapi untuk mengingatkan bahwa media punya kuasa sekaligus amanah moral,” tegasnya.
Dalam era digital, kata Harisuddin, santri dituntut hadir di ruang publik — baik di media sosial, televisi, maupun dunia jurnalisme — untuk menjaga nilai keislaman, keindonesiaan, dan kesantunan dalam penyebaran informasi.
Santri: Pelopor Moderasi dan Akhlak Digital
Harisuddin juga menegaskan bahwa santri bukanlah pihak yang menolak modernitas. Justru, santri menjadi pelopor moderasi — memadukan ilmu dan akhlak, dunia dan akhirat, serta logika dan hati.
“Santri hari ini harus menjadi penjaga kebenaran di ruang digital. Modernitas boleh datang, tapi harus disertai adab,” ujarnya.
Momentum Hari Santri
Menutup refleksinya, Harisuddin mengajak seluruh santri dan masyarakat luas untuk menjadikan Hari Santri Nasional sebagai ajang memperkuat komitmen terhadap ilmu, adab, dan amanah media.
Ada tiga pesan utama yang disampaikannya:
Menjaga ilmu dengan mudzakarah — belajar dan berdialog dengan rendah hati.
Menjaga berkah dengan khidmah — melayani dan menghormati guru serta lembaga.
Menjaga manfaat dengan ridha guru — mencari restu dan doa agar ilmu membawa kebaikan.
“Tanpa adab, ilmu kehilangan arah. Tanpa guru, ilmu kehilangan berkah. Dan tanpa media yang beretika, kebenaran kehilangan suara,” pungkas Harisuddin.
berita tuh kaya gtu bos. (Redaksi/Tim)





