Reporter : Redaksi
– Nama Habib Ali bin Muhsin al-Hamid tercatat sebagai salah satu veteran Perang Kemerdekaan Indonesia yang berasal dari Lumajang dan pernah tinggal di Tanggul, Jember. Ia lahir di Lumajang dan wafat di Pasuruan, setelah mengabdikan hidupnya di medan juang hingga dinas militer.
Habib Ali muda sempat aktif di Keibodan sebelum bergabung dengan Hizbullah, kemudian melebur dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) hingga Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan akhirnya menjadi prajurit TNI-AD.
Pada Palagan Surabaya 10 November 1945, ia mengalami luka serius akibat serpihan mortir yang mengenai siku dan mata kirinya hingga membuatnya buta sebelah. Kala itu, ia dirawat di kediaman KH. Fattah Yasin, tokoh Hizbullah Surabaya sekaligus aktivis Nahdlatul Ulama.
Habib Ali juga terlibat dalam gerilya di Malang pada masa Agresi Militer II Belanda di bawah komando Mayor Hamid Rusydi, anggota Barisan Ansor NU. Di masa inilah, adiknya, Umar bin Muhsin al-Hamid, ditangkap oleh intelijen Belanda (NEFIS) dan disiksa agar membocorkan posisi kakaknya. Namun Umar tetap bungkam.
Selain berperang di Surabaya, Habib Ali juga ikut bergerilya di wilayah Malang sepanjang 1946–1949. Setelah itu, ia sempat ditugaskan ke Sulawesi Selatan sebagai prajurit TNI.
Tragedi menimpa keluarganya pada era G30S. Adiknya, Umar bin Muhsin al-Hamid, diculik dan disiksa hingga meninggal dunia oleh gerombolan PKI di Ambulu, Jember. Sepupunya, Habib Ali bin Abdullah al-Hamid yang saat itu menjabat Ketua GP Ansor Tanggul, juga menjadi korban penculikan dan pembunuhan PKI, hingga kini makamnya tidak diketahui.
Habib Ali sendiri pensiun dari TNI-AD pada 1950 dan memperoleh sejumlah tanda jasa, termasuk Bintang Gerilya. Catatan perjuangannya terakhir kali ditulis sendiri oleh beliau pada 27 Juli 1988.
Kisah hidupnya menjadi bagian dari sejarah perjuangan rakyat dan santri Hizbullah dalam merebut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia.(Tim Redaksi)





